DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar.......................................................................................................ii
Daftar
Isi................................................................................................................iii
Bab I : Pendahuluan
A. Latar belakang.............................................................................................1
B.
Rumusan
masalah........................................................................................1
C.
Tujuan..........................................................................................................1
Bab II : Pembahasan
A.
Pengertian Sumber dan Dalil.......................................................................2
B. Al-Qur’an
Sebagai Sumber dan Dalil hukum..............................................2
C. Al-Qur’an
Merupakan Dalil Qath’I dan Zhanni.........................................9
D. Al-Qur’an
sebagai Dalil Kulli dan Juz’I...................................................10
Bab III : Penutup
Kesimpulan.....................................................................................................11
Daftar pustaka.......................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan
nama kitab suci Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan
perantaraan malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan malaikat Jibril serta
diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
Pembahasan Qath’i dan
Dzanni, Kully dan Juz’i hanya dapat ditemukan di kalangan ahli ushul fiqh
ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta kandungan makna
dalil itu sendiri. Dalam pengertian yang lebih sesuai, Qath’i dalam hukum Islam
adalah sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat
fundamental, yakni nilai kemaslahatan atau keadilan. Sementara Dzanni secara
harfiyah berarti persangkaan atau hipotesis yang merupakan kebalikan dari yang
Qath’i (kategori). Yakni ajaran atau petunjuk agama baik dari al-Qur'an maupun
Hadits Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang
universal. Dalil kully adalah dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak
menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Alqur’an sebagai sumber dalil dan hukum?
2. Cara
Al-Qur’an dalam menetapkan hukum?
3.
Bagaimana
kehujjahan Al-Qur’an?
4.
Bagaimana
definisi dalil Qath’i, Dzanni, Qully, dan Juz’i?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
Alqur’an sebagai sumber dalil dan hukum
2.
Mengetahui Cara
Al-Qur’an dalam menetapkan hukum
3.
Mengetahui
kehujjahan Al-Qur’an
4.
Mengetahui
definisi dalil Qath’i, Dzanni, Qully, dan Juz’i
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sumber dan
Dalil
Dalam bahasa Arab,
yang dimaksud dengan “sumber” secara etimologi adalah mashdar (مصدر), yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu.
Dalam ushul fiqih kata mashdar al-ahkam al-syar’iyyah (مصادرالاحكام الشرعية) secara terminologi berarti rujukan utama dalam menetapkan
hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah.
Sedangkan “dalil” dari bahasa Arab al-dalil (الدليل), jamaknya al-adillah (الادلة), secara etimologi
berarti:
الهادي
الى اي شئ اومعنوي
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat
material maupun non material (maknawi).”
Secara terminologi, dalil mengandung
pengertian:
مايتوصل
بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي عملي
Suatu petunjuk yang dijadikan landasan
berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik
yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).[1]
B. Al-Qur’an Sebagai Sumber dan Dalil hukum
1. Pengertian
Al-Qur’an
Kata Al-Qur’an dalam bahasa Arab
merupakan masdar dari kata Qara’a yang secara etimologis berarti bacaan,
dan atau apa yang tertulis padanya. Subjek dari kata Qara’a berupa isim
fa’il yaitu Maqru’, seperti terdapat dalam firman Allah Swt. Surat Al-
Qiyamah ayat 17-18:
Artinya:
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Al-Qur’an
merupakan nama kitab suci Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw,
dengan perantaraan malaikat Jibril.
Dalam
kajian ushul fiqih, Al-Qur’an juga disebut beberapa nama seperti:
a.
Al- Kitab, artinya tulisan atau buku. Arti
ini mengingatkan pada kita kaum muslimin agar Al-Qur’an dibukukan atau ditulis
menjadi suatu buku.
Kata
tersebut antara lain dijumpai dalam surat Al- Baqarah ayat 2:
Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa”.
b. Al-Furqan, Artinya pembeda. Hal ini mengingatkan
pada kita agar dalam mencari garis pemisah antara yang hak dan yang bathil,
yang baik dan buruk haruslah merujuk padanya. Hal ini menunjukan bahwa
Al-Qur’an membedakan sesuatu antara yang hak dan yang bathil. Ini dapat kita
jumpai antara lain dalam firman Allah Swt, surat Al-Furqan ayat 1 :
Artinya: “
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya,
agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”
c.
Al- Zikr, artinya ingat. Arti ini menunjukan
bahwa Al-Qur’an berisi peringatan agar tuntutannya selalu diingat dalam
melakukan setiap tindakan. Hal ini dapat kita temukan dalam surat Al- Hijr ayat
9:
Artinya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya”.
d.
Al- Huda, artinya petunjuk. Arti ini
mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang di
berikannya atau yang mempunyai rujukan kepada Al-Qur’an.
Al-Qur’an
adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw,
dengan perantaraan malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan
tertulis dalam mushaf.
Para ulama
ushul fiqih antara lain mengemukakan bahwa:
1)
Al- Qur’an merupakan kalam Allah
yang diturunkan kepada Muhammad Saw. Apabila bukan kalam dan tidak diturunkan
kepada Muhammad Saw., maka tidak dinamakan Al-Qur’an, melainkah Zabur, taurat,
dan Injil. Ketiga kita yang disebut terakhir ini adalah kalam Allah, tetapi
bukan diturunkan kepada Muhammad Saw. Bukti bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah
adalah kemukjizatan yang dikandung Al-Qur’an itu sendiri, dari struktur bahasa,
isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya, dan ramalan-ramalan masa depan yang
diungkap Al-Qur’an.
2)
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab Quraisy. Al-Qur’an merupakan nama dari struktur bahasa dan makna yang
dikandungnya. Sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa
Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsah (keringanan hukum), karena
ketidakmampuan sebagian orang untuk membaca dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an,
terlebih lagi bagi yang baru masuk Islam.
Dari
definisi Al-Qur’an tersebut diatas, jelaslah bahwa Al-Qur’an mempunyai
ciri-ciri khas dan keistimewaan sebagai berikut:
a.
Lafaz dan maknanya datang dari Allah
dan disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, melalui Malaikat Jibril dengan jalan
wahyu. Nabi tidak boleh mengubah, baik kalimat ataupun pengertiannya selain
dari menyampaikan seperti apa yang diterimanya. Oleh karena itu, tidak boleh
meriwayatkan Al-Qur’an dengan makna. Dengan demikian, maka Al-Qur’an berbeda
dengan hadits, baik hadits Qudsi maupun hadis Nabawi, yang keduanya merupakan
ungkapan kalimat dari Nabi dan merupakan perkataan Nabi yang diungkapkan dari
makna yang diilhamkan Allah atau yang diwahyukan Allah kepadanya.
b.
Al-Qur’an diturunkan dengan lafaz
gaya bahasa arab.
Artinya: “Sesungguhnya Kami menjadikan
Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)”.
Oleh
karena itu, imam Syafi’I dan lain-lain mewajibkan kaum muslimin untuk
mengetahui baca tulis bahasa Arab untuk keperluan membaca Al-Qur’an serta
menghafal bagian yang perlu di baca dalam shalat.
3)
Al-Qur’an dinukilkan kepada beberapa
generasi sesudahnya secara mutawatir (diturunkan oleh orang banyak kepada orang
banyak sampai sekarang. Meraka tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa
perubahan dan penggantian satu kata pun.
4) Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an
itu mendapat pahala dari Allah, baik bacaan itu berasal dari hapalan sendiri
maupun di baca langsung dari mushaf Al-Qur’an. Dalam hal ini, rasulullah Saw
bersabda:
Artinya: siapa yang membaca satu huruf
dari Al-Qur’an, maka ia mendapat satu kebaikan, satu kebaikan bernilai sepuluh
kali. Saya tidak mengatakan alif lam min itu satu huruf tetapi alif satu huruf,
lam satu huruf dan min satu huruf.” (HR. Al- Tirmizi dan Al- Hakim dari Abdullah Ibnu Mas’ud)
5)
Al- Qur’an itu dimulai dari surat
Al- Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan surat yang terdapat
dalam Al-Qur’an, disusun sesuai petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad Saw., tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan demikian,
doa-doa yang biasanya ditambahkan di akhir Al-Qur’an, tidak termask Al-Qur’an.[2]
2. Dasar Umum dalam Memahami Makna Al-Qur’an
Ada 4 prinsip
dasar yang umum dalam memahami makna Al-Qur’an, yaitu:
a. Qur’an
merupakan keseluruhan syari’at dan sandinya yang fundamental. Kemukjizatannya
tidak terletak pada segi bahasa Arab yang bisa dicapai pemahamannya, tetapi
dari segi I’jaznya tidak akan menghalangi untuk dipahami dan dipikirkan
maknanya.
b. Sebagian besar
ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya.
Ada dua alasan
mengapa harus mengetahuinya:
a) Faktor untuk
mengetahui kei’jazan Al-Qur’an itu bertumpu pada pengetahuan tentang tuntutan
situasi, baik situasi pembicaraan orang yang berbicara maupun orang yang
menjadi sasaran pembicaraan, baik secara alternatif ataupun komulatif
sekaligus. Pembicaraan yang satu berbeda pemahamannya dalam dua situasi berbeda
dan lain-lain. Misalnya kalimat pertanyaan yang satu bisa mengandung beberapa
pengertian seperti penetapan, ejekan dan sebagainya. Kalimat perintah bisa
mengandung pengertian kebolehan/izin, gertakan, remehan, dan sebagainya.
Petunjuk terhadap arti mana yang dikehendaki hanyalah terletak pada tuntutan
situasi (keadaan). Namun, petunjuk-petunjuk tidak terdapat pada setiap kalimat
yang dipindahkan kerana indikasi atau petunjuk hanya tertuju pada salah satu
pengertian yang dikehendaki sehingga tak ada peluang untuk memahaminya
keseluruhan atau sebagian. Disinilah arti pentingnya pengetahuan tentang sebab
turunnya ayat untuk menghilangkan kesulitan dalam mencari petunjuk tersebut.
b) Kehajilan akan
sebab-sebab nuzul dapat menjerumuskan ke dalam jurang keraguan dan menempatkan
nash yang zahir ke tempat ijmal, sehingga terjadilah perbedaan pendapat. Hal
tersebut diatas diperjelas oleh apa yang diriwayatkan tentang Tanya jawab
antara Umar bin Khattab dengan Abdullah bin Abbas sekitar terjadinya
perselisihan umat Islam sementara Nabinya hanya seorang. Abdullah bertanya
kepada Umar, “Pabila Qur’an sudah diturunkan kepada kita, lalu kit abaca dan
ketahui sasarannya. Kemudian generasi di belakang kita membaca Al-Qur’an tanpa
mengetahui apa sasaran ayat bersangkutan lalu mereka mempunyai pendapat sendiri
terhadapnya. Sehingga mereka akan berbeda pendapat. Perbedaan pendapat
berlanjut menjadi pertikaian yang berpuncak pada peperangan”.
c. Setiap berita
kejadian masa lalu yang diungkapkan Al-Qur’an jika terjadi penolakannya baik
sebelum atau sesudahnya, maka penolakan tersebut menunjukan secara pasti bahwa
isi berita itu sudah di batalkan.
d. Kebanyakan
hukum-hukum yang diberitahukan oleh Al-Qur’an bersifat Kulli (pokok yang
berdaya cukup luas) tidak rinci (disebutkan setiap peristiwa objektif) sepert
terungkap dari penelitian.[3]
3.
Cara
Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur’an diturunkan untuk
memperbaiki sikap hidup manusia. Karena itu, Al-Qur’an berisi perintah dan
larangan, Al-Qur’an memerintahkan yang baik dan melarang yang keji.
Di dalam
mengerjakan perintah dan larangan, Al-Qur’an selalu berpedoman pada tiga hal,
yaitu:
1)
Tidak memberatkan atau menyusahkan
Misalnya,
mengqashar shalat, tidak berpuasa karena musafir, bertayamum, memakan makanan
yang terlarang dalam keadaan darurat.
2)
Tidak memperbanyak beban/tuntutan
Misalnya,
zakat karena hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja, dan lain-lain.
3)
Berangsur-angsur di dalam
mensyari’atkan sesuatu
Misalnya,
pengharaman minuman keras prosesnya sampai tiga kali.
4.
Kehujjahan
Al-Qur’an
Ada alasan yang dikemukakan ulama
ushul fiqih tentang kewajiban berujjah dengan Al-Qur’an, diantaranya adalah:
a. Al-Qur’an itu diturunkan kepada
Rasulullah Saw, diketahui secara mutawattir, dan ini memberi keyakinan bahwa
Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah Swt melalui Malaikat Jibril kepada
Muhammad Saw, yang dikenal sebagai orang yang paling percaya.
b. Banyak ayat yang menyatakan bahwa
Al-Qur’an itu datangnya dari Allah, diantaranya dalam surat Ali Imran ayat 3:

Artinya: “Dia menurunkan Al
kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”.
c. Mukjizat Al-Qur’an juga merupakan
dalil yang pasti tentang kebenaran Al-Qur’an datang dari Allah Swt. Mukjizat
Al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi Saw, yang membawa risalah
Ilai dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasaan umat manusia. Mukjizat
Al-Qur’an, menurut para ahli ushul fiqih dan ahli tafsir terlihat ketika ada
tantangan dari berbagai pihak untuk menandingi Al-Qur’an itu sendiri, sehingga
para ahli sastra Arab di mana dan kapan pun tidak bisa menandinginya.
Kemukjizatan Al-Qur’an, menurut para
ahliushul fiqih terlihat dengan jelas apabila:
a) Adanya tantangan dari pihak manapun
b) Ada unsur-unsur yang menyebabkan
munculnya tantangan tersebut, seperti tantangan orang kafir yang tidak percaya
akan kebenaran Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad Saw.
c) Tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan
tersebut.
Unsur-unsur yang membuat Al-Qur’an
itu menjadi Mukjizat yang tidak mampu ditandingi akal manusia, diantaranya
adalah:
1)
Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya,
umpamanya berupa keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, diantaranya
seperti al- hayat (hidup) dan al- maut (mati), yang sama-sama berjumlah 145
kali; al- kufr (kekufuran) dan al- iman (iman) sama-sama terulang dalam
al-Qur’an sebanyak 17 kali.
2)
Dari segi pemberitaan-pemberitaan
gaib yang dipaparkan Al-Qur’an, seperti dalam surat Yunus ayat 92 dikatakan
bahwa “badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi
generasi-generasi berikutnya,” yang ternyata pada tahun 1896 ditemukan mummi
yang menurut arkeolog adalah Fir’aun yang mengejar Nabi Musa.
3)
Isyarat-isyarat ilmiah yang di
kandung Al-Qur’an, seperti dalam surat Yunus ayat 5 dikatakan, “Cahaya matahari
bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pemantulan dari
cahaya matahari.[4]
C. Al-Qur’an Merupakan Dalil Qath’I dan Zhanni
Al-Qur’an
yang diturunkan secara mutawattir, dari segi turunnya berkualitas qath’I (pasti
benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al-Qur’an adakalanya bersifat
qath’I dan adakalanya bersifat zhanni (relatif benar).
Ayat
yang bersifat qath’I adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tungal dan
tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini misalnya,
ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat.
Contohnya, Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 11:
Artinya:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta.
Contoh
lain adalah surat An- Nur ayat 2:
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera............”
Adapun
ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an
mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
Misalnya, lafal musytarak (mengandung pengertian ganda) yaitu kata quru’ yang terdapat
dalam surat Al-Baqarah ayat 228. Kata Quru’ merupakan lafal musytarak yang
mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru’
diartikan suci, sebagimana yang dianut ulama Syafi’iyah adalah boleh (benar),
dan jika diartikan dengan haid juga boleh (benar) sebagaimana yang dianut ulama
Hanafiah.
Contoh
lain adalah firman Allah dalam surat Al- Maidah ayat 38:
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan ......”
Kata tangan dalam ayat ini
mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau tangan kiri,
di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja
atau sampai siku.
D. Al-Qur’an sebagai Dalil Kulli dan Juz’I
Al-Qur’an
sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya dengan cara:
1. Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian
hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah,
hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan
kaffarat.
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu, agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqoroh :183)
Ayat diatas termasuk kedalam dalil juz’I, karena
hanya menunjukkan kepada perintah puasa saja.
2. Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian
besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum , dan mutlak, seperti dalam
masalah shalat yang tidak dirinci beberapa kali sehari dikerjakan, berapa
rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian juga dalam
masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci, dan berapa benda yang wajib
dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus di zakatkan.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalil mengandung pengertian Suatu petunjuk yang dijadikan
landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat
praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif). Al-Qur’an
merupakan nama kitab suci Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw,
dengan perantaraan malaikat Jibril.
Di dalam mengerjakan perintah dan larangan, Al-Qur’an selalu
berpedoman pada tiga hal, yaitu : Tidak memberatkan atau menyusahkan, Tidak
memperbanyak beban/tuntutan, Berangsur-angsur di dalam mensyari’atkan sesuatu.
Dalil qath’I adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian
tungal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini
misalnya, ayat-ayat waris, hudud, dan
kaffarat.
Dalil zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an
mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
Misalnya, lafal musytarak (mengandung pengertian ganda).
Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang
dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris,
hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan kaffarat.
Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu
bersifat global (kulli), umum , dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang
tidak dirinci beberapa kali sehari dikerjakan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhaili,
Wahbah. 1986. Ushul Fiqih Alislami. Beirut:
Dar al-Fikr dan Wahhab Khalaf, Abdul. 1978. ‘Ilm
Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam
Rifa’I, Mohammad.
1973. Fiqih Islam. Bandung: PT. Al-
Ma’arif
Wahhab Khallaf,
Abdul. Ilmu Ushul Fiqh. Cimahi:Gema
risalah press
http://kapanpunbisa.blogspot.co.id/2011/09/al-quran-sebagai-sumber-dan-dalil-hukum.html
diakses pada 10 Maret 2018
Djazuli, H.A.
dan Nurol Aen. Ushul Fiqih(Metodologi
Hukum Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[1] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
Fiqih Alislami (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 417. dan Abdul Wahhab
Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 20.
[2] Drs.
Moh. Rifa’I, Fiqih Islam, (Bandung:
PT. Al- Ma’arif,1973), hlm 32
[4] http://kapanpunbisa.blogspot.co.id/2011/09/al-quran-sebagai-sumber-dan-dalil-hukum.html diakses pada 10 Maret 2018
[5] Prof.
Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul
Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) , hlm 50
No comments:
Post a Comment