BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Perusahaan Pembiayaan
Syariah
1. Pengertian
Perusahaan Pembiayaan Syari’ah
Perusahaan pembiayaan adalah badan
usaha diluar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk
melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.[1] Kegiatan
usaha lembaga pembiayaan adalah :
a)
Sewa Guna Usaha (leasing)
b)
Anjak piutang (factoring)
c)
Usaha kartu kredit (credit card)
d)
Pembiayaan konsumen (consumer finance).
Secara umum pembiayaan berfungsi
menyediakan produk yang berkualitas dan pelayanan profesional untuk menjamin
kesetiaan pelanggan. Memanfaatkan sumber daya yang ada secara maksimal untuk
memperoleh revenue yang dapat memberikan konstribusi bagi pemegang saham dan
kesejahteraan bagi karyawan.
Perusahaan pembiayaan selain
beroperasi mengunakan sistem konvensional juga dapat melakukan pembiayaan
berdasarkan prinsip syari’ah. Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah
pembiayaan berdasarkan persetujuan antara perusahaan pembiayaan dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan pembiayaan
tersebut dengan jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.[2]
2. Pendirian
Perusahaan Pembiayaan
1. Prosedur tata cara pendirian
Untuk
mendirikan perusahaan pembiayaan syari’ah ada beberapa tahapan yang dapat
dilakukan, antara lain[3]:
a.
Calon mengajukan permohonan izin usaha sebagai perusahaan pembiayaan kepada
Menteri Keuangan c.q Ketua Bapepam LK.
b.
Selanjutnya dari ketua Bapepam LK, diteruskan ke Biro P3.
Biro P3 memeriksa
kelengkapan dokumen persyaratan izin usaha PP sesuai PMK No. 84/PMK.o12/2006.
Jika lengkap, maka diteliti informasi Daftar Kredit Macet (DKM) dan Daftar
Tidak Lulus (DTL) bagi direksi, komisaris, dan pemegang saham. Jika tidak
termasuk DKM dan DTL maka Biro P3 memproses permohonan izin usaha sebagai
perusahaan pembiayaan sesuai ketentuan dalam PMK No. 84/PMK.012/2006 termasuk
melakukan fit and proper test bagi Direksi dan Komisaris.
c.
Selanjutnya Biro P3 memberi pertimbangan menerima atau menolak permohonan izin
usaha PP.
d.
Jika pengajuan diterima maka dikeluarkan KMK Izin Usaha sebagai PP. Pemberian
Izin Usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan dilakukan oleh Ketua Bapepam LK.
e.
Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha sebagai PP wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 hari
sejak tanggal izin usaha ditetapkan.
f.
Melaporkan kegiatan usaha kepada Menteri Keuangan c.q Ketua Bapepam LK (Biro
Perbankan, Pembiayaan, dan Penjaminan) selambat-lambatnya 10 hari sejak tanggal
dimulainya kegiatan usaha.
3. Persyaratan
Izin Usaha[4]
a.
Akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh
instansi berwenang, yaitu Departemen Hukum dan HAM.
b.
Data Direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan Pengawas. Direksi dan
komisaris atau pengurus dan pengawas nantinya akan di uji fit propertest.
c.
Data pemegang saham atau anggota.
d.
Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi dan personalia.
e.
Fotokopi bukti perlunasan modal disetor dalam bentuk deposito berjangka pada
salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran
yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha.
f.
Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama.
g.
Bukti kesiapan operasional.
h.
Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi
perusahaan patungan.
i.
Pedoman untuk Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN).
4. Pembinaan
dan Pengawasan Perusahaan Pembiayaan Syari’ah.
Pembinaan
dan pengawasan kegiatan usaha perusahaan pembiayaan secara kelembagaan
dilakukan oleh Menteri Keuangan yang meliputi penarikan pinjaman luar negri,
penyaluran pinjaman yang bersumber dari perbankan, penerbit surat sanggup bayar
(promiss ory notes), kualitas aktiva produktif dan kebenaran serta kelengkapan
laporan. Sedangkan pembinaan dan pengawasan dari sisi pemenuhan prinsip
Syari’ah dilakukan oleh dewan Syari’ah Nasional-MUI yang menempatkan dewan
pengawas syari’ah (DPS) dimasing-masing perusahaan pembiayaan syari’ah.
Pada
perusahaan pembiayaan syari’ah pengawasan dan pembinaan yang dilakukan meliputi
:
Sumber
Pendanaan
Sumber
pendanaan bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syari’ah wajib diperoleh berdasarkan prinsip syari’ah. Sumber pendanaan
perusahaan pembiayaan syari’ah wajib diperhitungkan sebagai komponen dalam
menghitung Gearing Ratio perusahaan pembiayaan. Sumber pendanaan tersebut dapat
diperoleh melalui bank atau badan usaha yang lainnya baik dari dalam maupun
luar negeri dengan mengunakan akad yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
Adapun
akad yang diterapkan pada sumber pendanaan ini meliputi :
a.
Pendanaan Mudharabah Mutlaqah (Unrestricted Investmant), yaitu pendanaan yang
diperoleh perusahaan pembiayaan melalui akad kerjasama dengan pihak lain yang
bertindak sebagai penyandang dana ( sahibul mal ), dimana sahibul mal tersebut
membiayai 100% (seratus per seratus) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek
yang tidak ditentukan oleh perusahaan pembiayaan, dan keuntungan usaha dibagi
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
b.
Pendanaan Mudharabah Musyarakah yang diperoleh perusahaan pembiayaan melalui
akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana
(shahibul mal), dimana shahibul mal tersebut membiayai 100% modal kegiatan
pembiayaan untuk proyek yang telah ditentukan oleh perusahaan pembiayaan, dan
keuntungan dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
c.
Pendanaan Mudharah Musyarakah yang diperoleh perusahaan pembiayaan melaui akad
kerjasama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul
mal), dimana shahibul mal dan perusahaan pembiayaan selaku pengelola (mudharib)
turut menyertakan modalnya dalam kerjasma investasi dan keuntungan usaha dibagi
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
d.
Pendanaan Musyarakah (equity participation) yang dipeoleh perusahaan pembiayaan
melaui akad kerja sama dengan pihak lain untuk usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditangung bersama sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad.
e. Pendanaan lainnya yang sesuai dengan prinsip
syari’ah.[5]
B. Perusahaan Leasing Syariah
Sewa guna
usaha (leasing) syari’ah adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun
sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa
guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
angsuran sesuai dengan prinsip syari’ah. Usaha leasing dilakukan berdasarkan
akad Ijarah dan Ijarah Muntahiyal Bitamlik. Akad Ijarah adalah akad penyaluran
dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai (mu’ajjir)
dengan penyewa (musta’jjir) tanpa dikuti pengalihan kepemilikan barang itu
sendiri. Sedangkan Ijarah muntahiyal bi al-Tamlik adalah akad penyaluran dana
untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi
pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah selesai masa
sewa.[6]
Adapun prosedur transaksi leasing syari’ah secara umum adalah :
i. Lessee menghubungi supplier untuk pemilihan dan
penentuan jenis barang, spesifikasi harga, jangka waktu pengiriman, jaminan
purna jual atas barang.
ii. Pihak lessee mengajukan permohonan untuk
memperoleh fasilitas suatu barang modal di mana lessee dapat meminta lessee
quotation. Pihak lessor (perusahaan pembiayaan) kemudian meneliti kelengkapan
dokumen yang dipersyaratkan.
iii. Jika permohonan lesse diterima maka pihak
lessee dan lessor bertemu untuk menandatangani perjanjian serta baiaya–biaya
yang harus dibayar oleh lessee.
iv. Selanjutnya pihak lessor melakukan pemesanan
kepada supplier sesuai dengan tipe dan spesifikasi barang yang di inginkan oleh
lessee dan membayar sesuai pembayaran.
v. Pihak supplier mengirimkan barang sesuai dengan
surat pesanan dan surat bukti pembayaran kepada lessee.
vi. Penyerahan dokumen atas supplier kepada lessor
termasuk faktur dan bukti-bukti kepemilikan barang lainnya.
vii. Pembayaran lessor kepada supplier.
viii. Pembayaran angsuran secara berkala oleh lessee
kepada lessor selama masa selama masa sewa guna usaha yang seluruhnya mencakup
pengembalian jumlah yang dimiliki.
C. Anjak Piutang Syariah (Factoring)
Factoring dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
menjadi Anjak piutang maksudnya piutang yang dialihkan, sedangka pengertian
anjak pitang berdasarkan surat Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000
adalah “kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta
pengurusan piutang atau tagihan angka jangka pendek suatu perusahaan dari
transaksi perdagangan dalam atau luar negeri” . Selanjutnya pengertian anjak
piutang tersebut diatas dipertegas dengan ketentuan surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 172/KMK.06/2002 yang menyatakan bahwa “kegiatan anjak piutang
dilakukan dalam bentuk Pembelian dan atau pengalihan, dan Pengurusan.
Sedangkan dalam peraturan OJK No. 29/POJK.05/2014
Tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan menjelaskan anjak piutang
(Fatoring) “adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang usaha suatu perusahaan berikut pengurus atas
piutang tersebut.” Berkaitan dengan defenisi anjak piutang tersebut, dalam
kegiatan anjak piutang yang dilakukan di Indonesia terdapat beberapa hal yang
perlu digaris bawahi, yakni :
1. Transaksi anjak piutang daat dibedakan menjadi 2
(dua) jenis, yaitu anjak piutang dengan pembiayaan (financing activity), yaitu
dalam bentuk pembelian dan atau penagalihan piutang dan anjak non-pembiayaan
(non-financing activity) yaitu dalam bentuk pengurusan piutang atau tagihan.
2. Transaksi anjak piutang dapagt dilakukan untuk
transaksi perdagangan domestik (anjak piutang domestik) dan transaksi
perdagangan antar negara atau ekspor/impor (anjak piutang internasional)
3. Objek anjak piutang adalah piutang atau tagihan
jangka pendek suatu perusahaan dari suatu perdagangan dalam atau luar negeri
4. Pembiayaan anjak piutang hanya dapat dilakukan
kepada perusahaan, bukan kepada individu atau orang-perorangan.
Fungsi dan manfaat factoring:
a. Factoring berkaitan dengan masalah piutang clien.
Dalam hal ini, factor berfunsi menangani masalah atau mangambil alih piutang
tersebut, dan menagih pembayarannya pada debitur setelah oiutang jatuh tempo.
b. Itu berarti factor bertanggung jawab atas piutang klien dan
membebaskan client dan membebaskan client dari resiko kerugian. Sementara itu,
manfaat factoring dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut :
1. Bagi perusahaan nasabah
a) Factoring dapat menolong
“cash flow” perusahaan yang melakukan penjualan secara kredit sehingga dana
yang diperoleh dari penjulan piutang kepada perusahaan anjak piutang akan
memperlancar kegiatan produksi, dibandingkan apabila produsen tersebut menagih
sendiri kepada kreditor.
b) Bagi
perusahaan yang berkembang sangat pesat dan belum daoat diimbangi dengan divisi
kredit, dengan menggunakan jasa perusahaan anjak piutang, perusahaan yang
bersangkutandapat berkonsentrasi dalam meningkatkan usahanya.
c) Factoring dapat memperlancar perputaran modal
kerja perusahaan sehingga dapat meningkatkan laba.
d)
Factoring dapat mendorong dunia usaha untuk lebih kompetitif lagi sebab nasabah
perusahaan anjak piutang akan bebas melakukan transaksi perdagangan atas dasar
“open account”, baik didalam maupun luar negeri.
e)
Perusahaan anjak piutang merupakan usaha yang dapat melindungi nilai terhadap
risiko yang mungkin terjadi karena pelanggan mengalami kesulitan likuiditas.
2. Secara
Makro Perusahaan anjak piutang yang melakukan pengambilalihan piutang secara
pre payment (pembayaran di muka) akan membawa efek money multipler sehingga
dapat meningkatkan percepatan uang beredar (velocity of money) yang pada
gilirannya akan mendorong pertumbuhan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa pada prinsip-prinsipnya anjak piutang (factoring)
memberikan manfaat antara lain :
a.
Pembayaran piutang lebih cepat dari jatuh tempo
b.
Menambah dana segar perusahaan
c.
Dapat membantu peningkatan keuntungan dan laba
Dalam Islam Anjak Piutang biasa disebut juga dengan
Hawalah adapun hadis yang terkait dengan Hawalah tersebut yaitu :
Hadis
Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dan Ibn. Majah dari „Amr bin „Auf al-Muzani, Nabi
Muhammad S.A.W bersabda :
“Perjanjian
boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
“Menunda
pembayaran bagi orang yang mampu adalah satu kezaliman. Dan jika salah seorang
di antara kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu, terimalah
hawalah itu.”
Pada hadis ini Rasulullah memberitahukan kepada
orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang
yang mampu/kaya, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah ia
menagih kepada orang yang dihawalahkan (muhal‟alaih).”
Sedangkan
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia menjelaskan
Anjak Piutang secara syariah adalah pengalihan penyelesaian piutang atau
tagihan jangka pendek dari pihak yang berpiutang kepada pihak yang berutang
atau pihak yan ditunjuk oleh pihak yang berutang sesuai prinsip syariah.13
Dalam fatwa tersebut juga dijelaskan mengenai ketentuan akad Anjak Piutang
yaitu:
1. Akad yang dapat digunakan dalam Anjak Piutang
secara Syariah adalah Wakalah bil Ujrah.
2. Pihak yang berpiutang mewakilkan kepada pihak
lain untuk melakukan pengurusan dokumen-dokumen penjualan kemudian menagih
piutang kepada pihak berhutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang
berhutang. 3. Pihak yang ditunjuk menjadi wakil dari yang berpiutang untuk
melakukan penagihan (collection) kepada pihak yang berutang atau pihak lain
yang ditunjuk oleh pihak yang berutang untuk membayar. 4. Pihak yang ditunjuk
menjadi wakil dapat memberikan dana talangan (Qardh) kepada pihak yang
berpiutang sebesar nilai piutang. 5. Atas jasanya untuk melakukan penagihan
piutang tersebut, pihak yang ditunjuk menjadi wakil dapat memperoleh ujah/fee.
6. Besar ujah harus disepakati pada saat akad dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk persentase yang dihitung dari pokok piutang. 7.
Pembayaran ujarah dapat diambil dari dana talangan atau sesuai kesepakatan
dalam akad. 8. Antara akad Wakalah bil Ujarah dan akad Qardh, tidak dibolehkan
adanya keterkaitan.
Kemudian Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tesebut
menjelaskan jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Nasional Syariah atau Pengadilan Agama setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[7]
D. Pembiayaan Konsumen Syariah
Pembiayaan
konsumen syariah adalah kegiatan pembiayaan untuk mengadakan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran sesuai dengan prinsip
syariah. Pembiayaan konsumen diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Kebutuhan konsumsi terdiri dari kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder.
Konsumsi dalam ekonomi Islam dapat didefinisikan dengan mengonsumsi sesuatu
yang baik, halal dan bermanfaat bagi manusia, pemanfaatan segala anugrah Allah
SWT. di muka bumi atau sebagai sebuag kebajikan karena kenikmatan yang
diciptakan Allah untuk manusia adalah wujud ketaatan kepada Allah SWT. Akan
tetapi, tidak berarti seorang konsumen daat mengonsumsi segala barang yang
dikehendaki, tanpa memperhatikan kualitas dan kemurniannya, atau mengonsumsi
sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan hak-hak orang lain yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu, dalam konsumsi, prinsip dasar yang harus dijadikan acuan
adalah kebenaran, kesucian, kesederhanaan, kemaslahatan dan akhlak. Pembiayaan
konsumen adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran sesuai dengan prinsip
syariah. Perusahaan pembiayaan syarah dapat melakukan pmbiayaan untuk memenuhi
kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran dengan menggunakan akad
yang ditetapkan oleh syariat.
Pada
prinsipnya, pembiayaan konsumen dilakukan berdasarkan akad murabahah, salam dan
istisna. Secara umum prosedur pembiayaan konsumen syariah dilakukan sebagai
berikut:
1. Pihak konsumen menghubungi perusahaan pmbiayaan
untuk mengajukan permohonan pembiayaan yang bersifat konsumtif
2. Perusahaan pembiayaan dan konsumen menyepakati
kontrak sesuai dengan akad yang sesuai dengan kebutuhan konsumen dalam dokumen
tertulis yang secara jelas menerangkan syarat dan ketentuan yang disepakati
3. Penyerahan barang kepada konsumen sesuai dengen
permohonan konsumen
4. Konsumen membayar kepada perusahaan pembiayaan
sesuai dengan kesepakatan kontrak.[8]
E. Kartu Kredit Syariah
Kartu
kredit syariah atau yang lazim disebut bithaqah al-l’timan adalah kartu kredit
yang pada dasarnya berfungsi sebagaimana kartu kredit lainnya serta terikat
dengan peraturan yang berlaku dan dijalankan dengan prinsip serta kebijakan
yang bersifat syariah. Hal ini diatur dalam ketentuan Umum fatwa Dewan Syariah
Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang
kartu kredit syariah.
Dengan
demikian, bisa dipastikan bahwa semua aturan dan juga kebijakan yang diterapkan
di dalam kartu kredit syariah merupakan ketentuan yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional dan juga MUI. Kebijakan-kebijakan inilah yang menjadi
perbedaan antara kartu kredit syariah dengan kartu kredit konvensional lainnya,
meskipun dari sisi hukum dan aturan pemerintah keduanya tetap menjalankan
aturan yang sama. Kartu kredit syariah juga memiliki fungsi yang sama dengan
kartu kredit konvensional, di mana kita bisa memanfaatkannya untuk berbagai
kepentingan transaksi pembelanjaan dan juga penarikan tunai di mesin ATM.
Akad dalam Kartu Kredit Syariah
Kartu
kredit syariah dijalankan dengan menggunakan prinsip yang Islami, maka hal
tersebut tentu akan membuatnya berbeda dengan kartu kredit konvensional yang
dijalankan dengan menggunakan berbagai macam ketentuan yang ditetapkan oleh
pihak perusahaan dan juga bank penerbit kartu kredit. Hal ini tentu saja
menjadi sebuah nilai lebih bagi nasabah yang menggunakannya, karena mereka bisa
menggunakan fasilitas kartu kredit yang memang benar-benar sesuai dengan
prinsip dan ketentuan syariah.
Salah satu
hal yang membedakan kartu kredit syariah dengan kartu kredit konvensional
adalah tidak adanya bunga di dalam kartu kredit syariah, namun terdapat
penerapan akad yang di dalam kartu kredit syariah. Terdapat beberapa akad yang diterapkan di dalam kartu
kredit syariah, antara lain:
1. Kafalah
Akad kafalah atau yang dalam
bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai penjamin transaksi, artinya bank selaku
penerbit kartu kredit akan bertindak sebagai pihak penjamin di dalam berbagai
macam transaksi yang dilakukan oleh nasabah selaku pemegang kartu terhadap
merchant dan/atau atas kegiatan penarikan tunai yang dilakukan di mesin ATM
selain milik bank penerbit kartu kredit tersebut. Dengan kata lain dapat
dijelaskan bahwa, dalam hal ini bank bertindak sebagai penjamin nasabah yang
artinya bank memberikan jaminan tersebut kepada pihak merchant.
2. Qardh
Akad qardh adalah pemberian pinjaman yang
dilakukan oleh pihak bank kepada pihak nasabah selaku pengguna kartu kredit,
untuk mengambil sejumlah uang tunai melalui kartu kredit syariah yang
dimilikinya pada mesin ATM.
3. Ijarah
Akad Ijarah merupakan sejumlah biaya
keanggotaan (iuran tahunan) yang dikenakan oleh bank kepada nasabah selaku
pemegang kartu kredit syariah. Hal ini dipungut sebagai bentuk imbal jasa atas
layanan yang telah diberikan oleh bank dalam bentuk kartu kredit syariah.
4. Sharf
Akad sharf merupakan fasilitas yang diberikan
oleh bank untuk nasabahnya melakukan transaksi keuangan dalam mata uang asing.
Hal ini akan digunakan, terutama jika nasabah yang bersangkutan bepergian ke
luar negeri.[9]
Keunggulan kartu kredit syariah:
a.
Didukung MasterCard, Jadi Bisa Dipakai
Di Seluruh Dunia
b.
Biaya Administrasi di Merchant Lebih
Rendah
c.
Denda Dialihkan Ke Sektor Sosial
d.
Sudah Difatwakan, Tidak Perlu Takut
Melanggar Aturan Agama[10]
[1] Keputusan Menteri Keuangan
Nomor. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan yang diubah dengan
Keputusan Menteri Keungan No. 172/KMK.06/2002, dan PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan.
[2]
Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. PER-03/BL/2007/tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syari’ah dan NO.
PER-04/BL/2007
[3]
Andri Soemitra,
Bank&Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta, Kencana, 2009), Eds 1, Cet. 1.
hlm. 333-334
[4] Ibid, hlm 334-337
[5]
Fatwa DSN-MUI
No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
[6] Fatwa DSN-MUI No.
27/DSN-MUI/IV/2002 tentang Pembiayaan Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik atau
al-Ijarah wa al-Iqtina’. Lih. Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Eds. 2,
PT Intermasa, Jakarta, 2003, hlm. 164.
[8]
http://lutphy4.blogspot.co.id/2017/01/perusahaan-pembiayaan-syariah.html diakses pada 09/11/2017
[9] https://www.cermati.com/artikel/mengenal-kartu-kredit-syariah-dan-bank-bank-yang-menerbitkannya diakses pada 09/11/2017
[10] https://www.cermati.com/artikel/4-keunggulan-kartu-kredit-syariah-yang-wajib-diketahui diakses pada 09/11/2017
No comments:
Post a Comment